Tadi malam saya mengunjungi tempat tinggal seorang teman yang berada di sekitaran Dago. Disana saya disambut dengan rentetan pertanyaan & pernyataannya tentang status relationship sepasang teman kita dikampus yang baru saja berakhir. Pada intinya kami sama-sama menyayangkan berakhirnya hubungan yang telah berlangsung hampir selama lima tahun tersebut, apalagi keduanya sudah menunjukkan tanda-tanda “siap nikah” yang cukup obvious, setidaknya di mata saya dan teman saya itu.
Beberapa minggu sebelumnya, seorang teman wanita yang juga berasal dari satu kampus resmi mengumumkan rencana pernikahannya dalam waktu yang tidak terlampau jauh kedepan. Bersama pacarnya, dia datang ke dalam sebuah acara besar di kampus dengan wajah yang terlihat sangat bahagia. Berbeda dengan cerita pertama di atas, teman saya ini baru saja mengenal dan berpacaran dengan calon suaminya itu tidak lebih dari 3 bulan. Keduanya kini telah bekerja di bidang yang menurut saya adalah bidang yang memang mereka cintai.
Kedua cerita di atas bisa jadi merupakan cerita klise dimata sebagian orang, karena saking banyaknya kasus serupa yang pernah mereka dengar atau mungkin mereka alami sendiri. Bagi saya pribadi, ada pelajaran yang bisa di ambil dari situ. Selain lagi-lagi masalah komitmen, pernikahan itu sesuatu yang kompleks. Saya sudah tiga kali merasakan pressure dari orang-orang terdekat yang akan melangsungkan pernikahan. Orang-orang tersebut adalah ketiga kakak kandung saya sendiri. Sebagai anak bungsu sudah selayaknya menjadi bagian penting dari hajatan besar keluarga tersebut. Bagian yang paling berat menurut saya adalah ketika harus "bersikap" terhadap keluarga besan. Ada tekanan sosial disana, dimana saya harus pintar-pintar menjaga nama keluarga saya agar terlihat baik dimata mereka dan tentunya juga dimata rekan dan kerabat mereka yang turut diundang.
Sebagai makhluk sosial, status dan tekanan sosial pasti menjadi bagian yang nggak bisa terlepas dari benak manusia. Ada semacam kepercayaan di kampus saya tentang betapa pentingnya kita memiliki pasangan terutama pada detik-detik menuju kelulusan. Mungkin kepercayaan itu berawal dari pendapatl tentang alangkah lengkapnya hidup ini jika ketika keluar dari gedung tempat wisuda, kita disana bersama keluarga dan pasangan tercinta. Paling tidak keluarga disana akan melihat dua prestasi yang telah kita raih pada saat itu: Lulus & punya pacar. Maka dari itu tidak sedikit yang berlomba-lomba untuk meraih status sosial tersebut. Pasangan hidup menjadi suatu penanda sosial.
Satu lagi cerita menarik dari salah satu sahabat saya. Jefri namanya, mengenal wanita yang sekarang menjadi istrinya itu dari Facebook. Hubungan mereka berlanjut di dunia nyata dan tidak memerlukan waktu hingga berlarut-larut sampai mereka merasakan kecocokan satu sama lain dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Undangan pernikahan pun menyebar dengan desain yang mereka rancang sendiri.
Jodoh itu kadang misterius, kadang dengan mudahnya muncul dihadapan ketika kita membutuhkan. Tapi bagaimanapun saya setuju dengan kalimat seorang teman: “Jodoh itu nggak akan kemana, tapi kalau nggak kemana-mana ya nggak jodoh-jodoh”
mantap juga tuh dari pesbukan sampe nikah., slamet ya moga sohib ente langgeng, amin. boleh tahu desain keseluruhannya ga pesbukweddingnya buat sohib aku yang mo nikah akhir januari ini....
BalasHapus